Langsung ke konten utama

November, Bulan kelima


Andai kata Tuhan kasih Malaikat seguntai nafsu, segenggam rasa, segumpal darah, maka pasti lah ia akan mencintaimu pula. Memperjuangkan hak rasanya, mengemis dengan tanpa malu, tanpa logika. Sayangnya tidak, tak beruntung dia belum pernah mencintaimu, tapi beruntung juga dia tidak pernah merasakan pilu yang dalam. Ini jalan yang sudah Tuhan gariskan, tidak pantas sepertinya aku terus memprotes jalan yang menurut-Nya baik. Sudah bersudi tahu diri juga aku ini, tidak lagi hidup pada orang yang memang tak berhak lagi aku miliki. Yang kala itu, sedikit coretan di kertas kecil pengantar sebelum lelap datang, aku tumpahkan tinta diatasnya, menjadi seorang pengagum yang tak mau tulisannya dilihat orang lain. Iya, seorang "pengagum rahasianya" berharap suatu hari tulisannya itu dibaca dibawah atap rumahnya sendiri. Cukup berdua saja, kita yang baca, kita yang bahagia, dan kita yang tertawa dengan gurauan. Tapi maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Hanya sebentang harapan yang selamanya akan menjadi sebuah cita-cita, padi yang sudah terlanjur menguning, nasi yang sudah menjadi bubur, dan  arang yang terlanjur menjadi abu.
Pekerjaan adalah kewajiban, makan adalah kebutuhan, dan hidup adalah perjalanan. Ada banyak pilihan, dan hanya ada satu yang menentukan. Jangan nanti tapi sekarang, pilihan hati bukan pilihan orang yang mencaci. Siapa peduli? Aku sendiri yang menjalani, tahun akan berganti tandanya usiaku akan lebih tua dan masih banyak tempat yang belum aku singgahi. Suatu hari di Bumi aku ingin teriak diatas bukit, termenung ditepi pantai, ternyata nusantara masih luas.
Oh ya, ada satu coretan yang aku catat padanya kala itu. Coretan malam saat setelah kulihat kedua kesayangannya datang lalu duduk di teras bersama-sama membicarakan hal biasa namun membuat debar kebahagiaan tak terhingga. Coretan ini masih kusimpan dalam kotak ajaib, begitu aku menamainya. Kotak yang suatu saat akan aku buka untuk kutunjukan kepadanya, tapi sudahlah.
Kali ini kusuguhkan kepadamu dan kalian, siapapun. Semoga kau membaca,

Selalu kupanggil mereka Ibu dan Bapak,
Tak berani dan tak kuasa kupanggil mereka sepertinya
Adalah Ibu dan Bapak negara
Mereka mandatkan aku sebagai menterinya,
Bertugas seperti layaknya menteri pada pengabdiannya.
Tugasku, mencintaimu.

Kertas rusak dengan tumpukan yang telah usang dimakan udara, pena kotor yang lebam dengan suasana rasa. Lama tak dibuka, lama tak dibaca, bakar? Tidak, aku harap suatu saat akan ada orang yang membacanya kala aku pergi, entah itu ke perantauan, ataupun dipanggil berbalut kain kafan. Biar semua orang tau, aku pernah mendapatkan mutiara dasar laut, bintang atas langit samping malaikat, permata nan indah tanpa goresan. Dengan segenap seluruh pengharapanku, apapun pikiran yang selalu ada dibenakmu sekarang. Kau sudah menjadi permata, permataku yang hilang.
Dua bulan lamanya aku dibuat macam orang gila, seperti orang yang tak tentu arah tujuannya akan dikemanakan. Terkapar di tembok rapuh yang tak lagi sanggup menahan beban, sudah terlalu banyak tumpuan di pundak sebelum warung kopinya dibuka enam bulan yang lalu. Apa rasanya orang yang sedang sibuk menggali tumpukan emas, bongkahan harapan untuk berjalan menuju mimpinya sebagai anak sarjana yang suatu hari akan meminangnya, kemudian dipatahkan? Apa rasanya ketika orang-orang yang selama itu dianggap sebagai kawan, menusuk, meregas, lalu berkhianat? Lengkap sudah mati rasanya setelah tau orang yang selama ini ada di puncak pengharapannya, sudah dibahagiakan orang lain, Apa rasanya?

Apa rasanya?
Sakit sudah jangan ditanya
Jangan kau rasakan
Tak kuasa aku membayangkan
Tak tega aku merasakan

Senang sudah tahu ada orang baik
Untuk kau yang memang ingin orangnya

Lama sudah yang dirasakan, kita tak bersua
Sudah kupulihkan puing yang roboh kemarin
Jangan kau rasakan, sakit sekali cinta

Sudah November, tidak terasa setelah memikul rasa yang mengganggu, sudah kulewati masanya itu. Topeng itu sudah terkelupas, namun sudah menyatu dengan raga ini. Entahlah, harus bahagia atau tidak samar sekali rasanya, kupelontoskan saja kepala ini. Sehelai rambut adalah masa kemarin yang telah selesai, kita mulai lagi dari awal.

Kalau dirimu sendiri tidak suka dibohongi
Kenapa kau sendiri yang berbohong?
Berbohong pada rasa sendiri

Ingat saat kemarin teman bercerita tentang rasanya yang dikhianati, sedikit berbeda tapi sama. Kesamaan tentang rasa yang terkoyak, tentang waktu yang menjerat, dan tentang wanitanya yang rela meninggalkan bangunan megah yang sudah mereka bangun. Merangkul kita yang saat itu tiga orang, tepatnya sabtu malam setelah kita pulang dari salah satu tempat ngopi langganan kita. Ingin menonton film lawas katanya, 5 tahun lalu pernah kutonton sebelumnya. Tapi tidak dimaknai mendalam, baru kemarin rasanya semangat yang patah-menyambung, patah-menyambung, sudah tegak berdiri dengan penuh yakin ternyata.
Filmnya sangat lama, kutonton tepat malam hari ketika waktu yang tepat untuk lelaki berpikir, selesai sebelum subuh dan dengan semangat yang tumbuh kembali, kulelapkan raga yang sudah lelah dengan hari itu, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mei, bulan kesebelas

Rahmat Tuhan datang di purnama ini, Ramadhan yang suci. Aku merasa bersalah pada Tuhan, sudah berturut-turut aku merusak ramadhan saat itu. Aku tidak pernah baik bahkan suci untuk melakukan semua itu. Yang jelas aku hanya ingin sedikit lebih jujur pada diri sendiri bahwa sebenarnya sudah saatnya untuk mendewasakan diri. Belajar lebih jujur untuk diri sendiri, tidak munafik untuk melakukannya. Sudah datang kali ini, Di bulan sabit awal yang baik Ada pengagumnya ternyata Aku mencintai pengagum sabit itu Memulai Ramadhan dengan suasana berbeda tentu saja itu pilu, dimulai dengan harus memulai hidup yang lebih bersih dan disiplin. Meskipun itu memang untuk kebaikan bersama. Tapi tetap saja kadang merasa malas untuk melakukannya. Ditambah lagi dengan kesibukan yang membuat so sibuk, merasa aku adalah makhluk paling sibuk di Bumi. Sibuk bekerja, sibuk menjadi sedikit baik, sibuk juga mengingatmu. Tentu saja. Berbeda tidak harus tentang sedih, kali ini aku hanya ingin sedikit menyamp...

Maret, bulan kesembilan

Demikian pula dengan rencana, aku tidak pernah menyangka Maretku akan sebahagia ini. Sangat diluar dugaan ketika aku berani untuk memulai kembali, rencana memang hebat. Tidak ada yang tahu akhirnya seperti apa, tapi kita benar-benar diharuskan untuk menerima. Bingung sepertinya jika harus digambarkan kebagiaan yang sedang terjadi saat ini, dimana disisi lain banyak korban yang berjatuhan di purnama ini. Dengan wabah yang tidak dipersilahkan datang, malah memaksa masuk untuk ikut campur dalam kebahagiaanku. Mengapa tidak dibunuh saja orang-orang seperti mereka yang bawa-bawa penyakit, kenapa harus diobati yang bahkan mereka saja tidak peduli pada kesehatan dan kebahagiaan kita. Tapi tidak dengan dia yang sudah diciptakan satu paket dengan Humanitarianisme nya, aku menghargai itu bahkan aku mulai peduli dan senang. Aku selalu ingin tahu apa saja kegiatan yang dia lakukan untuk melakukan kepedulian pada orang lain yang bahkan dia sendiri tidak mengenalnya, aku selalu ingin mende...

April, bulan kesepuluh

Pernah berjanji pada satu hati? Pada satu nama? Kepada orang yang telah mempercayai kita seutuhnya. Bukan hanya sekedar ucapan atau bahkan sebuah tekad sementara. Tapi menurutku, adalah sebuah tanggung jawab besar yang harus digenggam kemana pun pejanji itu bertepi. Aku pernah sekuat itu menyampaikan janji, janji yang kukira harus dipenuhi meskipun melapuk dengan waktu. Mengikrarkan sebuah ikatan yang dibangun atas nama kita. Apa yang terjadi ketika aku si pejanji tidak memenuhi janji nya, tapi masih ingin berusaha untuk mewujudkannya? Kemudian si pemakan janji sudah kenyang begitu saja, atau bahkan ingin memakan janji orang lain? Sebegitu jatuhnya seorang pejanji yang merasa tidak bertanggung jawab atas semua mimpi yang dia taruh kepadanya, sebuah mimpi yang pernah mengikat sepasang manusia. Pemimpi yang mempunyai tujuan yang sama, titik akhir yang serupa, dan harapan yang selaras. Kemudian menghilang. Kupikir itu semua salahku Ternyata semua manusia memang salah Ketika sudah...