Andai kata Tuhan kasih Malaikat seguntai nafsu, segenggam rasa, segumpal darah, maka pasti lah ia akan mencintaimu pula. Memperjuangkan hak rasanya, mengemis dengan tanpa malu, tanpa logika. Sayangnya tidak, tak beruntung dia belum pernah mencintaimu, tapi beruntung juga dia tidak pernah merasakan pilu yang dalam. Ini jalan yang sudah Tuhan gariskan, tidak pantas sepertinya aku terus memprotes jalan yang menurut-Nya baik. Sudah bersudi tahu diri juga aku ini, tidak lagi hidup pada orang yang memang tak berhak lagi aku miliki. Yang kala itu, sedikit coretan di kertas kecil pengantar sebelum lelap datang, aku tumpahkan tinta diatasnya, menjadi seorang pengagum yang tak mau tulisannya dilihat orang lain. Iya, seorang "pengagum rahasianya" berharap suatu hari tulisannya itu dibaca dibawah atap rumahnya sendiri. Cukup berdua saja, kita yang baca, kita yang bahagia, dan kita yang tertawa dengan gurauan. Tapi maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Hanya sebentang harapan yang selamanya akan menjadi sebuah cita-cita, padi yang sudah terlanjur menguning, nasi yang sudah menjadi bubur, dan arang yang terlanjur menjadi abu.
Pekerjaan adalah kewajiban, makan adalah kebutuhan, dan hidup adalah perjalanan. Ada banyak pilihan, dan hanya ada satu yang menentukan. Jangan nanti tapi sekarang, pilihan hati bukan pilihan orang yang mencaci. Siapa peduli? Aku sendiri yang menjalani, tahun akan berganti tandanya usiaku akan lebih tua dan masih banyak tempat yang belum aku singgahi. Suatu hari di Bumi aku ingin teriak diatas bukit, termenung ditepi pantai, ternyata nusantara masih luas.
Oh ya, ada satu coretan yang aku catat padanya kala itu. Coretan malam saat setelah kulihat kedua kesayangannya datang lalu duduk di teras bersama-sama membicarakan hal biasa namun membuat debar kebahagiaan tak terhingga. Coretan ini masih kusimpan dalam kotak ajaib, begitu aku menamainya. Kotak yang suatu saat akan aku buka untuk kutunjukan kepadanya, tapi sudahlah.
Kali ini kusuguhkan kepadamu dan kalian, siapapun. Semoga kau membaca,
Kali ini kusuguhkan kepadamu dan kalian, siapapun. Semoga kau membaca,
Selalu kupanggil mereka Ibu dan Bapak,
Tak berani dan tak kuasa kupanggil mereka sepertinya
Adalah Ibu dan Bapak negara
Mereka mandatkan aku sebagai menterinya,
Bertugas seperti layaknya menteri pada pengabdiannya.
Tugasku, mencintaimu.
Tak berani dan tak kuasa kupanggil mereka sepertinya
Adalah Ibu dan Bapak negara
Mereka mandatkan aku sebagai menterinya,
Bertugas seperti layaknya menteri pada pengabdiannya.
Tugasku, mencintaimu.
Kertas rusak dengan tumpukan yang telah usang dimakan udara, pena kotor yang lebam dengan suasana rasa. Lama tak dibuka, lama tak dibaca, bakar? Tidak, aku harap suatu saat akan ada orang yang membacanya kala aku pergi, entah itu ke perantauan, ataupun dipanggil berbalut kain kafan. Biar semua orang tau, aku pernah mendapatkan mutiara dasar laut, bintang atas langit samping malaikat, permata nan indah tanpa goresan. Dengan segenap seluruh pengharapanku, apapun pikiran yang selalu ada dibenakmu sekarang. Kau sudah menjadi permata, permataku yang hilang.
Dua bulan lamanya aku dibuat macam orang gila, seperti orang yang tak tentu arah tujuannya akan dikemanakan. Terkapar di tembok rapuh yang tak lagi sanggup menahan beban, sudah terlalu banyak tumpuan di pundak sebelum warung kopinya dibuka enam bulan yang lalu. Apa rasanya orang yang sedang sibuk menggali tumpukan emas, bongkahan harapan untuk berjalan menuju mimpinya sebagai anak sarjana yang suatu hari akan meminangnya, kemudian dipatahkan? Apa rasanya ketika orang-orang yang selama itu dianggap sebagai kawan, menusuk, meregas, lalu berkhianat? Lengkap sudah mati rasanya setelah tau orang yang selama ini ada di puncak pengharapannya, sudah dibahagiakan orang lain, Apa rasanya?
Apa rasanya?
Sakit sudah jangan ditanya
Jangan kau rasakan
Tak kuasa aku membayangkan
Tak tega aku merasakan
Sakit sudah jangan ditanya
Jangan kau rasakan
Tak kuasa aku membayangkan
Tak tega aku merasakan
Senang sudah tahu ada orang baik
Untuk kau yang memang ingin orangnya
Untuk kau yang memang ingin orangnya
Lama sudah yang dirasakan, kita tak bersua
Sudah kupulihkan puing yang roboh kemarin
Jangan kau rasakan, sakit sekali cinta
Sudah kupulihkan puing yang roboh kemarin
Jangan kau rasakan, sakit sekali cinta
Sudah November, tidak terasa setelah memikul rasa yang mengganggu, sudah kulewati masanya itu. Topeng itu sudah terkelupas, namun sudah menyatu dengan raga ini. Entahlah, harus bahagia atau tidak samar sekali rasanya, kupelontoskan saja kepala ini. Sehelai rambut adalah masa kemarin yang telah selesai, kita mulai lagi dari awal.
Kalau dirimu sendiri tidak suka dibohongi
Kenapa kau sendiri yang berbohong?
Berbohong pada rasa sendiri
Ingat saat kemarin teman bercerita tentang rasanya yang dikhianati, sedikit berbeda tapi sama. Kesamaan tentang rasa yang terkoyak, tentang waktu yang menjerat, dan tentang wanitanya yang rela meninggalkan bangunan megah yang sudah mereka bangun. Merangkul kita yang saat itu tiga orang, tepatnya sabtu malam setelah kita pulang dari salah satu tempat ngopi langganan kita. Ingin menonton film lawas katanya, 5 tahun lalu pernah kutonton sebelumnya. Tapi tidak dimaknai mendalam, baru kemarin rasanya semangat yang patah-menyambung, patah-menyambung, sudah tegak berdiri dengan penuh yakin ternyata.
Filmnya sangat lama, kutonton tepat malam hari ketika waktu yang tepat untuk lelaki berpikir, selesai sebelum subuh dan dengan semangat yang tumbuh kembali, kulelapkan raga yang sudah lelah dengan hari itu, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Filmnya sangat lama, kutonton tepat malam hari ketika waktu yang tepat untuk lelaki berpikir, selesai sebelum subuh dan dengan semangat yang tumbuh kembali, kulelapkan raga yang sudah lelah dengan hari itu, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Komentar
Posting Komentar