Selalu memberikan kejutan dengan isi yang dia punya, itulah, September.
"Sreekk!" Kusobek lembaran kalender purnama lalu, diganti dengan lembaran baru. Kulingkari tanggal satu, anehnya logikaku masih membisu.
Bangkit! Bangkit! Bangkkiiiit!
Aku terus mencoba memaksakan kehendakku untuk mencoba dan mencoba memulai, mustahil sepertinya jika aku terus berlarut dalam kepedihan yang aku sendiri tidak tahu kapan semuanya akan berakhir. Gelombang pasang surut lautan dalam menerpa pantai dengan pohon kelapa di pesisirnya, melenggut - melenggut, mengikuti arah mata angin yang seenaknya datang dari utara, lalu membalikan arahnya dari selatan. Saat gelombang datang, dia pasrah, tenang, tidak roboh, dan tidak diam. Kenapa sekuat itu? disitulah logikaku mulai ikut campur. Hampir setiap senja aku selalu melihat pohon kelapa dengan nasib yang sama, tidak roboh, tidak berubah, masih pasrah dengan angin dan laut yang selalu menyiksa dirinya menurutku. Sampai akhirnya aku menyadari, kenapa bukan aku? aku sebagai pohon kelapa.
September, adalah awalku untuk masuk kembali ke dalam ruangan yang terkenal dengan UNIVERSITAS. Setelah setahun lamanya aku mengembara di atas tanah Bumi yang telah membawaku ke kota - kota besar, dan akhirnya aku sampai dalam sebuah tempat singgah yang aku beri nama "tempat ngopi", enam bulan aku berjibaku disini, mencoba untuk meraup keuntungan dan menikmatinya sampai aku sendiri tidak menyadari kalau di tempat inilah, dia pergi.
Di September ini aku harus mencatat tulisan baru, untuk usiaku.
Di September ini aku harus mencatat tulisan baru, untuk usiaku.
Seperti daun kelapa yang berfungsi sebagai sapu lidi, membersihkan setiap pojokan halaman rumah. Jangan sampai ada debu yang tersisa, harus bersih dan rapih. Hal itu yang sekarang ada dalam benakku, adalah merapihkan setiap sisa debu disudut halaman, sepanjang jalan rumahan, rumahmu.
Kebetulan hari itu adalah hari dimana aku harus pergi menuju kampus, dan sedikit aku berpikir, mungkin sekarang waktunya. Waktu dimana aku harus menyapu bersih semuanya, semua tentang aku yang masih ingin tahu, aku yang berharap, aku yang ingin mendengar ceritanya, dan tentu saja, aku yang dikoyak - koyak rindu. Semuanya nampak jelas saat aku memberanikan diri untuk bertemu dan sedikit berbincang meskipun pertemuan dan perbincangan itu tidak sehangat lalu, semuanya berjalan dengan baik dan aku senang. Senang saat tahu bahwa dia masih sayang, senang saat dia masih nyaman duduk bersebelahan, dan senang saat mendengar ada orang lain yang sudah menghiburnya saat dia butuh seorang penghibur dari permasalahan hidupnya. Ya, sudah bukan aku lagi. Tempat berteduh saat hujan, tempat nyaman saat dia pilu, dan pundak saat dia ingin bersandar, sudah bukan aku lagi. Aku seperti ditusuk pisau dari surga, dirobeknya kulit ini dengan sayatan - sayatan halus, masuk ke dalam rongga hampir mengenai jantung, sakit dan indah. Indah saat tahu bahwa, aku memang tidak perlu lagi menunggu dan berharap, aku sudah bukan lagi orang pertama saat dia membutuhkan pahlawan, aku sudah bukan lagi seorang gundala saat dia terjebak dalam rantai yang menjeratnya. Tidak sama sekali aku menampakan kesedihan didepannya, karena aku juga tidak mau merusak suasana kala itu, suasana yang sudah lama aku tidak merasakannya, suasana yang aku ingin tidak ada akhirnya.
Masih dalam perbincangan menarik kita berdua kala itu, aku ingin tidak ada lagi lontaran perkataanku yang membuatnya sakit, dalam pikirku saat itu adalah, aku ingin membuatnya bahagia, senang dengan apa yang aku katakan, senang dengan apa yang aku lakukan padanya, senang dengan dia yang duduk disamping orang yang mencintainya. Satu keinginanku saat itu, aku ingin melihat dia yang tertawa karena aku, untuk pertemuan yang terakhir ini. Iya, sudah kuputuskan saat aku tahu bahwa aku bukan lagi orang yang dicarinya saat terluka, dan sore itu aku mengatakan "selamat tinggal" tanpa harus mengatakannya.
Sedikit nuansa yang aku bawa ke rumah, aku masih terbawa suasana sore itu yang membuat aku masuk lagi dalam chatting pribadinya. Tapi tidak lama setelah malam datang, aku pamit.
Kebetulan hari itu adalah hari dimana aku harus pergi menuju kampus, dan sedikit aku berpikir, mungkin sekarang waktunya. Waktu dimana aku harus menyapu bersih semuanya, semua tentang aku yang masih ingin tahu, aku yang berharap, aku yang ingin mendengar ceritanya, dan tentu saja, aku yang dikoyak - koyak rindu. Semuanya nampak jelas saat aku memberanikan diri untuk bertemu dan sedikit berbincang meskipun pertemuan dan perbincangan itu tidak sehangat lalu, semuanya berjalan dengan baik dan aku senang. Senang saat tahu bahwa dia masih sayang, senang saat dia masih nyaman duduk bersebelahan, dan senang saat mendengar ada orang lain yang sudah menghiburnya saat dia butuh seorang penghibur dari permasalahan hidupnya. Ya, sudah bukan aku lagi. Tempat berteduh saat hujan, tempat nyaman saat dia pilu, dan pundak saat dia ingin bersandar, sudah bukan aku lagi. Aku seperti ditusuk pisau dari surga, dirobeknya kulit ini dengan sayatan - sayatan halus, masuk ke dalam rongga hampir mengenai jantung, sakit dan indah. Indah saat tahu bahwa, aku memang tidak perlu lagi menunggu dan berharap, aku sudah bukan lagi orang pertama saat dia membutuhkan pahlawan, aku sudah bukan lagi seorang gundala saat dia terjebak dalam rantai yang menjeratnya. Tidak sama sekali aku menampakan kesedihan didepannya, karena aku juga tidak mau merusak suasana kala itu, suasana yang sudah lama aku tidak merasakannya, suasana yang aku ingin tidak ada akhirnya.
Masih dalam perbincangan menarik kita berdua kala itu, aku ingin tidak ada lagi lontaran perkataanku yang membuatnya sakit, dalam pikirku saat itu adalah, aku ingin membuatnya bahagia, senang dengan apa yang aku katakan, senang dengan apa yang aku lakukan padanya, senang dengan dia yang duduk disamping orang yang mencintainya. Satu keinginanku saat itu, aku ingin melihat dia yang tertawa karena aku, untuk pertemuan yang terakhir ini. Iya, sudah kuputuskan saat aku tahu bahwa aku bukan lagi orang yang dicarinya saat terluka, dan sore itu aku mengatakan "selamat tinggal" tanpa harus mengatakannya.
Sedikit nuansa yang aku bawa ke rumah, aku masih terbawa suasana sore itu yang membuat aku masuk lagi dalam chatting pribadinya. Tapi tidak lama setelah malam datang, aku pamit.
Terima kasih,
Sampai saat ini aku menemukan,
Menemukan topeng yang bagus seperti yang kamu pakai,
Semoga topengmu tidak rusak ya,
Supaya tidak merasakan apa yang kemarin aku sudah rasakan
Sampai saat ini aku menemukan,
Menemukan topeng yang bagus seperti yang kamu pakai,
Semoga topengmu tidak rusak ya,
Supaya tidak merasakan apa yang kemarin aku sudah rasakan
Sudah seminggu lamanya aku masuk dalam kursi panas pak Dosen, dan aku memutuskan untuk membuat hal baru dengan mencari pekerjaan sampingan yang lain. Kucatat semua schedule harianku, penuh dengan kesibukan - kesibukan yang membuatku senang, senang karena dengan seperti ini, aku yakin topengku sudah semakin kuat. Dan aku menikmatinya, biarlah fisik ini merasakan lelah, untuk rasa yang sudah semakin tangguh.
Tunggu saja, petikan musik dari seorang maestro, ukiran pena dari seorang penyair, bukan! Tapi pengarang. Ini sebagian dari karyanya.
Tunggu saja, petikan musik dari seorang maestro, ukiran pena dari seorang penyair, bukan! Tapi pengarang. Ini sebagian dari karyanya.
September,
Kau kuras rasaku
Kau injak logikaku
Kau makan usiaku
Kau kuras rasaku
Kau injak logikaku
Kau makan usiaku
Tapi terima kasih,
Aku sudah tau kejutanmu
Aku sudah tau kejutanmu
Komentar
Posting Komentar