Andai kata Tuhan kasih Malaikat seguntai nafsu, segenggam rasa, segumpal darah, maka pasti lah ia akan mencintaimu pula. Memperjuangkan hak rasanya, mengemis dengan tanpa malu, tanpa logika. Sayangnya tidak, tak beruntung dia belum pernah mencintaimu, tapi beruntung juga dia tidak pernah merasakan pilu yang dalam. Ini jalan yang sudah Tuhan gariskan, tidak pantas sepertinya aku terus memprotes jalan yang menurut-Nya baik. Sudah bersudi tahu diri juga aku ini, tidak lagi hidup pada orang yang memang tak berhak lagi aku miliki. Yang kala itu, sedikit coretan di kertas kecil pengantar sebelum lelap datang, aku tumpahkan tinta diatasnya, menjadi seorang pengagum yang tak mau tulisannya dilihat orang lain. Iya, seorang "pengagum rahasianya" berharap suatu hari tulisannya itu dibaca dibawah atap rumahnya sendiri. Cukup berdua saja, kita yang baca, kita yang bahagia, dan kita yang tertawa dengan gurauan. Tapi maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Hanya sebentang ...
Selepas kau pergi, adakah ruang untukku melupakan? Adakah jarak untuk rasa melangkah? Adakah jeda untuk nada berkisah? Melaju dalam dimensi baru Hilang dan melangkah maju Mengikhlas untuk melepas Mengikis dalam memapas Ini kisah tak diinginkan semesta Tak ingin juga penulis untuk bercerita Hanya sebatas pengagum rahasia Namun waktu memilih jalan yang berbeda.