Terdengar jelas suara lantunan adzan saat hari ini ingin mengganti dirinya dengan esok. Malam memisahkan mereka, membuatku harus menguras lagi pikiranku dalam keheningannya. Untungnya saat itu aku ingat Tuhan, seperti memanggilku dalam lubuk hati yang biasanya dipenuhi dengan kemunafikan. "Relakanlah" sepertinya kata Tuhan begitu. Datang kala itu cermin didepanku yang membuat aku malu sendiri, tertawa, dasar gila! Sembab, memerah, sangat malu! Pantaskah aku sebagai laki-laki yang akan menjadi tulang punggung rakyatku melemah hanya sebab salah satu anak Hawa? Begitukah? Apa aku diciptakan hanya untuk itu? Dan, apakah seorang pejantan tidak diperbolehkan sedikit meluapkan amarahnya dengan cara membuatnya malu pada diri? Aku rasa sangat baik, daripada aku harus menghancurkan, anarkis, kasar, seperti binatang jalanan. Masih ingat waktu itu, esok adalah hari bersejarahnya. Dimana dia memasuki zona terbaik dalam hidupnya, zona dimana dia akan mengulang kembali memori dimana d...
Selepas kau pergi, adakah ruang untukku melupakan? Adakah jarak untuk rasa melangkah? Adakah jeda untuk nada berkisah? Melaju dalam dimensi baru Hilang dan melangkah maju Mengikhlas untuk melepas Mengikis dalam memapas Ini kisah tak diinginkan semesta Tak ingin juga penulis untuk bercerita Hanya sebatas pengagum rahasia Namun waktu memilih jalan yang berbeda.